Dalam
hal pembuatan persenjataan canggih, Indonesia sebenarnya tidak kalah
dengan negara-negara Barat. Indonesia memiliki talenta-talenta muda yang
bisa membuat senjata canggih. Contohnya adalah Muhammad Yazid Al Qahar
(20), mahasiswa jurusan Teknik Informatika, Universitas Komputer
Indonesia (Unikom) Bandung, yang mampu membuat robot senjata otomatis,
DU116 SGR-V12.
Mengenai konsepnya, Yazid mengatakan bahwa robot tembak ini merupakan
antirudal dalam sistem pertahanan negara. Maksud penciptaan robot ini,
ketika ada rudal yang mau masuk dan menembak, antirudal ini akan
menembak duluan sebelum rudal musuh sampai.
Berkat hasil karyanya, dia meraih juara 1 untuk kategori Shooting Gallery pada ajang Robogames di Amerika Serikat, April 2012.
“Waktu itu saya buat untuk bisa menembak target yang diam.
Sekarang saya buat pengembangannya karena robot senjata otomatis ini
bisa menembak target bergerak,” kata Yazid di kampusnya.
Robot senjata otomatis ini dibuat karena keinginannya mempermudah
operasional tentara sehingga mengurangi jatuhnya korban saat terjadi
kontak senjata, baik dalam perang maupun penyergapan teroris.
“Umumnya senjata dikendalikan manusia, kalau yang ini
komputerisasi, secara otomatis mendeteksi target, mengarahkan, dan
menembak otomatis. Tidak ada sentuhan tangan manusia secara langsung.
Kalau programnya sudah jalan ketika pertama kali menembak, dia (senjata)
otomatis akan menembak target seterusnya,” ujarnya.
Cara
kerja robot yang pertama kali dibuatnya itu sama seperti senjata biasa,
namun pada senjata ciptaan terbarunya ini ditambah beberapa komponen
seperti kamera (webcam) di bagian depan mulut senjata dan laser di bagian atas.
Karena beroperasi otomatis, maka semuanya disambungkan ke komputer,
termasuk pelatuk. Untuk bisa menembak target bergerak, senjata disimpan
di tempat yang dibuat seperti meja, lalu di bagian bawahnya dibuat
seperti roda kecil sehingga bisa bergerak ke kanan dan kiri.
“Saya menggunakan sistem pengindraan teknik pengolahan citra,
bagaimana robot dapat melihat seperti mata manusia. Gambar yang diambil
kamera akan diolah, setelah didapatkan target, laser akan menyala dan
sistem mengarahkan senjata ke target. Setelah dirasa tepat, baru
ditembak,” jelas Yazid.
Dia mengakui akurasi senjata yang dibuatnya selama empat bulan itu
cukup tinggi yaitu 90 persen. Dengan jarak tembak 2-3 m, 20 target bisa
ditembak dalam sepuluh detik. Jadi, satu target hanya membutuhkan waktu
setengah detik.
Meski bisa menggunakan senjata sungguhan, saat ini Yazid masih
menggunakan senjata yang biasa digunakan untuk airsoft gun. Sementara
itu, untuk meningkatkan kemampuan tembak, hanya perlu mengganti
peralatan seperti penggunaan kamera dan software khusus.
“Selanjutnya saya ingin membuat senjata ini bisa bergerak
sendiri, tidak hanya diam. Nanti akan dikembangkan sehingga bisa bedakan
lawan dan kawan. Saat ini baru bisa membedakan benda bulat itu musuh,
bentuk lain bukan,” katanya.
Selain jadi alat pertahanan negara, penemuan yang menelan biaya
kurang dari Rp10 juta ini juga bisa jadi antirudal, sehingga kalau ada
rudal yang masuk akan dihancurkan. Dengan berbagai keunggulan tersebut,
Yazid berhasil meraih juara I dengan perolehan medali emas pada ajang
INAICTA 2012.
Tidak Jadi ke Amerika Karena Nama
Di balik kemenangannya di Robogames 2012 di San Mateo, ada cerita
menarik tentang Yazid yang tidak dapat ikut ke Amerika karena “nama”. Di
kejuaraan robot internasional tersebut, Yazid optimistis robot
karyanya, DU116 SGR-V12, bisa bersaing dengan peserta lain dari
berbagai negara.
Persiapan untuk kejuaraan sudah dilakukan secara matang, tapi harapan
untuk bisa terbang ke Amerika Serikat memperagakan dan mempresentasikan
karyanya pupus seketika.
Pasalnya baik visa maupun paspornya tidak juga dikeluarkan pihak
Kedutaan Besar Amerika di Jakarta. Meski Yazid telah mengajukan
pembuatan visa maupun paspor sejak awal Januari lalu. Namun nyatanya
hingga menjelang keberangkatannya Mei 2012 visanya tidak kunjung keluar.
Padahal milik rekan satu timnya hanya cukup satu hari langsung keluar.
Beberapa pihak termasuk rekan-rekannya menduga tidak keluarnya visa
Yazid berkenaan dengan namanya, mengingat Amerika hingga kini masih
phobia jika berkaitan dengan Islam, meski hanya sekadar nama saja.
“Visa sudah diajukan, tapi tak kunjung keluar. Akhirnya pasrah
ketika visa tidak keluar dan tim lainnya harus berangkat ke Amerika.
Mungkin ini sudah jalan takdir dari Yang Di Atas, tanpa menyalahkan nama
yang sudah dikasih oleh orang tua saya,” kata Yazid.
Meski tidak bisa hadir untuk memperagakan robot karyanya, ia sangat senang ketika tahu robot karyanya berhasil menjadi juara 1.
Sumber: seputar-indonesia.com, jabar.tribunnews.com, hidayatullah.com